Film ''esek-esek'' pertama Indonesia
Totot Indrarto

Epidemi film esek-esek Indonesia bermula dari Bernafas dalam Lumpur (Turino Djunaidy, 1970). Film itu juga melahirkan bom seks Indonesia pertama, Suzanna Martha Feredrika van Osch, yang ironisnya ditemukan Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail dalam Darah dan Doa (1950) dan pernah mendapat penghargaan The Best Child Actress dalam Festival Film Asia 1960 di Tokyo lewat Asmara Dara (1958).
Film itu adalah melodrama perempuan kampung yang meninggalkan anaknya untuk mencari suaminya di Jakarta. Haparannya pupus mengetahui sang suami telah menikah lagi, dan malah mengusirnya. Terlunta-lunta di kota, ia terperangkap dalam jaringan perdagangan perempuan dan terpaksa menjadi pelacur. Hidupnya berubah setelah bertemu pria kaya yang mengajaknya menikah.
Diangkat dari cerita bersambung Berenang dalam Lumpur karya Zainal Abdi yang pernah dimuat di majalah hiburan Varia, inilah film Indonesia pertama yang menampilkan adegan-adegan seks, perkosaan, dan perkataan-perkataan kasar di seputar itu. Sampai-sampai dilarang diputar di Bandung oleh Komando Distrik Militer (Kodim) setempat. Tak heran jika film itu sangat laris dan melahirkan banyak pengikut, bahkan sampai sekarang.