Film Indonesia paling mahal di zamannya
Totot Indrarto

Pelopor film di Indonesia, Djamaludin Malik, harus dikenang sebagai produser yang gigih mengembangkan pasar film nasional. Berbagai cara pernah dilakukannya guna menarik minat penonton datang ke bioskop menyaksikan film Indonesia.
Ketika masyarakat dilanda demam film India, ia memproduksi Djandjiku (B.K. Raj, 1956). Dalam produksi itu, Persari mendatangkan duabelas pekerja film dari India, termasuk sutradara yang juga menjadi penulis cerita dan skenario. Untuk itu produser menghabiskan biaya Rp 1,5 juta dan menjadikannya sebagai film Indonesia paling mahal di zamannya. Ketika itu kurs 1 dolar AS kira-kira baru Rp31.
Hasilnya, “film India dengan pemain Indonesia.” Sebuah majalah menyebutnya, “Film India terjemahan Persari.” Toh, animo penonton sangat bagus, sampai berhasil menjadi film laris keempat setelah Terang Boelan (Albert Balink, 1936), Krisis (Usmar Ismail, 1953), dan Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956).
Film yang sama sekali tidak menyisakan jejak visual (kopi film, still photo, materi promosi, dan lain-lain) itu merupakan film terakhir aktris populer 1950-an Titien Sumarni. Setelah itu pemeran Ida, sahabat Norma (Netty Herawati), dalam Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954) tersebut sakit berkepanjangan dan meninggal sepuluh tahun kemudian dalam keadaan miskin di usia 35.
Antyo R.
pada awal 70_an putra titin, tommy sumarni, meneruskan jejak seni ibundandanya melalui teater di bandung. begitu kata majalah aktuil waktu itu.