Cara media cetak mengatasi Tsunami Digital

(Kiri ke kanan) Kris Moerwanto, Handoko Hendroyono, Edwin, Kemal Gani, Petty Fatimah, Yuswohardy dan Edi Taslim saat berdiskusi di Obsat, Senin (18/2/2013) — © Beritagar

Saat era digital mulai menguasai arus berita, banyak yang beranggapan bahwa ini adalah tanda berakhirnya era media cetak. Bahkan, dalam Obrolan Langsat bersama Nutrisi Bangsa di Jakarta, Senin (18/2/2013) malam, Yuswohady -- praktisi pemasaran -- menganggapnya sebagai Tsunami Digital. Lantas bagaimana media cetak menyikapinya?

Petty Fatimah, pemimpin redaksi (pemred) majalah Femina, mengatakan pihaknya membangun komunitas berdasarkan segmentasi dan menyelenggarakan berbagai event untuk tetap hidup. Demikian pula Kemal Gani, pemred majalah SWA, yang melakukan riset setiap tahunnya untuk dijadikan konten, cover story atau event. Dari event yang melahirkan berbagai komunitas itulah SWA mendapat 30% pemasukan.

Lain hal dengan yang dilakukan koran Jawa Pos. "Kami tidak percaya sama yang namanya segmentasi, kami hanya fokus pada anak muda, wanita dan netizen. Itu justru membuat kami jadi koran favorit anak muda," tutur Kris Moerwanto, pemred Jawa Pos.

    x
    x